SIDIKNEWS, Soppeng — Menjadi seorang pemimpin memang bukan perkara mudah, begitu pula perjuangan para jurnalis di Kabupaten Soppeng yang kerap berhadapan dengan realitas pahit: idealisme yang terhimpit oleh tekanan dan ketimpangan.
Di tengah semangat menjaga marwah profesi, tak sedikit pewarta di daerah ini yang harus berjuang dengan segala keterbatasan demi menyuarakan kebenaran. Namun, di sisi lain, ada pula yang hidup nyaman berkat kedekatan dengan para pemegang kuasa.
“Situasi ini cukup memprihatinkan. Ada kesan pilih kasih terhadap pewarta tertentu, bahkan muncul dugaan adanya ‘jurnalis penjilat’ yang mendapat proyek dari pihak berkuasa. Sementara rekan-rekan yang tetap bersuara kritis justru dipinggirkan,” ujar seorang jurnalis senior di Soppeng yang enggan disebutkan namanya, Senin (10/11/2025).
Menurutnya, kondisi tersebut telah mencederai semangat kebebasan pers dan mencoreng citra jurnalistik lokal. “Lebih ironis lagi, mereka yang dekat dengan penguasa justru kerap tampil dengan pernyataan yang menyesatkan, menuduh wartawan kritis tanpa dasar. Bahkan ada yang seolah menjadi ‘pahlawan kesiangan’, membela penguasa tanpa menilik fakta di lapangan,” tambahnya.
Lebih jauh, jurnalis tersebut mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menelusuri seluruh kegiatan proyek di Kabupaten Soppeng yang terindikasi tidak transparan.
“Saya berharap APH tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum. Semua pihak yang terlibat dalam proyek harus diperiksa secara objektif dan profesional,” tegasnya.
Sementara itu, seorang pakar hukum asal Soppeng menilai bahwa praktik diskriminatif terhadap media dapat menimbulkan konsekuensi hukum dan moral.
“Apabila benar ada perlakuan berbeda dalam penyaluran proyek atau akses informasi karena kedekatan dengan penguasa, hal itu jelas melanggar asas keadilan dan transparansi publik. Pemerintah daerah seharusnya bersikap netral dan memperlakukan seluruh media secara setara,” ujarnya.
Ia menegaskan, hubungan antara pemerintah dan media mestinya dibangun atas dasar profesionalisme, bukan kepentingan politik atau ekonomi. “Justru media yang kritis dibutuhkan untuk menyeimbangkan kekuasaan. Jika mereka disingkirkan, maka demokrasi turut terkubur,” jelasnya.
Menutup perbincangan, jurnalis senior itu mengingatkan rekan-rekannya agar terus berpegang pada etika profesi.
“Seorang jurnalis harus berdiri di atas kepentingan publik, bukan tunduk pada kekuasaan atau kepentingan sesaat,” pungkasnya.


